Dharmayatra dalam Agama Buddha
Ilustrasi: Buddhis Media |
Dharmayatra dalam Agama Buddha
Buddhis Media. Pengetahuan dan
pengalaman lapangan bagi untuk kegiatan ritual sangat penting guna meningkatkan
saddha/sradha (keyakinan). Keyakinan
sebagai dasar umat Buddha bukan hanya dalam pemahaman konsep. Wujud nyata yang
dapat dilakukan salah satunya dengan pelaksanaan kegiatan dharmayatra. Pengetahuan yang diperoleh selama dharmayatra merupakan sarana untuk pembelajaran.
Apa itu Dharmayatra dalam Agama Buddha?
Dharmayatra
adalah salah satu bentuk ritual yang berkembang dari kebutuhan umat dalam memberikan
kesempatan menghormati tempat-tempat yang disucikan atau disakralkan. Tempat
yang disucikan atau disakralkan tersebut terdapat beberapa hal yang
melatarbelakangi, diantaranya makam orang-orang suci, tempat menyimpan relik
para arahat atau para suci, tempat bersejarah dalam perjalanan hidup Buddha,
tempat bersejarah dalam pembabaran Dhamma, dan candi-candi.
Apa Tujuan Dharmayatra dalam Agama Buddha?
Hal tersebut dapat dijadikan
motivasi bagi umat dalam mempraktekkan Dhamma serta meningkatkan pengetahuan mengenai nilai-nilai spiritual Buddhis dalam
kehidupan sehari-hari.
Hendaknya kita memiliki tujuan dharmayatra yang baik diantaranya adalah
sebagai berikut:
- Meningkatkan pengetahuan terhadap tempat-tempat yang disakralkan dalam agama Buddha;
- Menumbuhkan keyakinan dalam melaksanakan Dharma;
- Mewujudkan kader generasi muda khususnya umat Buddhis yang berkualitas dalam membimbing umat dalam melaksanakan Dharma;
- Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai pentingnya nilai-nilai luhur peninggalan bersejarah;
- Turut melestarikan cagar budaya.
Dasar Dharmayatra dalam Agama Buddha
Kegiatan dharmayatra merupakan mengunjungi
objek-objek yang di sakralkan dan sebagai wujud penghormatan terhadap
peninggalan-peninggalan bersejarah dalam agama Buddha. Kegiatan ini juga untuk meningkatkan
motivasi umat Buddha agar selalu berbuat kebajikan. Adapun dasar-dasar yang mendasari kegiatan
dharmayatra adalah dasar yuridis dan
teologis.
Dasar Historis Dharmayatra
Mengunjungi
tempat-tempat ajaran Sang Buddha pada masa pemerintahan Raja Asoka telah
dikenal. Ariyakumara (2013: 62) mengungkapkan bahwa: Pada tahun
keduapuluh masa pemerintahannya, Raja Asoka mengunjungi tempat kelahiran
Pangeran Siddharttha di Lumbini dan membangun pagar serta pilar batu untuk
menandai kunjungannya ke tempat tersebut, Taman Rusa Isipatana dekat Benares
dan tempat Sang Buddha parinibbana di Kusinara. Kota Savatthi dan Vesali yang
sering disinggahi Sang Buddha juga menjadi tujuan kunjungan Raja Asoka.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada masa Raja Asoka kegiatan
mengunjungi tempat-tempat ajaran telah dilakukan dan dipelopori oleh seorang
pemimpin. Hal tersebut dilakukan sebagai wujud penghormatan kepada ajaran Sang
Buddha. Sebagai seorang pemimpin yang memberikan pengaruh besar terhadap
rakyatnya Raja Asoka tidak hanya mengunjungi tempat-tempat suci melainkan
dengan membangun pilar serta berdana kepada rakyat sekitar tempat-tempat suci
ajaran Sang Buddha.
Dasar Teologis Dharmayatra
Secara teologis dharmayatra mengacu pada sabda
Sang Buddha yang terdapat dalam kitab Petikan
Milinda Panha “Hormati relik dari
mereka yang patut dihormati. Dengan
bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surga” (Pesala, 2002:
100). Menghormat orang yang patut
dihormati tidak hanya dilakukan ketika masih hidup. Dalam hal tersebut
peninggalan-peninggalan agama Buddha yang disakralkan merupakan objek untuk
melakukan penghormatan.
Dasar Filosofis Dharmayatra
Kegiatan dharmayatra sangat penting untuk
dilaksanakan. Begitu banyak manfaat
melaksanakan kunjungan ke tempat-tempat suci yang ada hubungannya dengan Sang
Buddha. Hal tersebut sesuai
dengan ajaran Sang Buddha, seperti
petikan pada Mahaparinibbana Sutta
yaitu “Ananda, bagi mereka yang berkeyakinan kuat melakukan ziarah
ketempat-tempat itu, maka setelah mereka meninggal dunia, mereka akan terlahir
kembali kealam surga” (Walshe, 2009: 243). Kekuatan keyakinan seseorang ketika
mengunjungi objek-objek bersejarah yang di sakralkan dalam agama Buddha akan
membuat batin menjadi tenang serta terlahir di alam surga.
Obyek Dharmayatra Umat Buddha di Indonesia
Candi Sari
terletak sekitar 10 KM dari pusat Kota Yogyakarta. Tepatnya candi ini berada di
Desa Bendan, Kelurahan Tirtamartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. Candi Sari bercorak
agama Buddha. Candi Sari dibangun pada abad VIII M pada masa
pemerintahan Rakai Panangkaran, bersamaan dengan masa pembangunan Candi Kalasan
berdasarkan Prasasti Kalasan (700 Saka / 778 M) (http://candi.pnri.go.id/temples/deskripsi-yogyakarta-candi_sari,). Candi Sari dan Candi
Kalasan memiliki banyak kemiripan, baik dari segi arsitektur maupun reliefnya. Candi Sari merupakan bangunan
suci untuk asrama pendeta Buddha. Bukti bahwa Candi Sari sebagai asrama pendeta
Buddha terlihat dari bentuk keseluruhan bagian-bagian bangunan dan dari bagian
dalamnya yang memiliki ruangan (berdasarkan observasi pada tanggal 1 Juni 2015).
Candi Sewu
Candi Sewu
terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten,
Propinsi Jawa Tengah. Candi Sewu letaknya berdekatan dengan Candi Prambanan. Candi
Sewu diperkirakan dibangun pada abad VII atas perintah penguasa Kerajaan
Mataram pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (746-784 M) dan Rakai Pikatan.
Berdasarkan Prasasti Manjusrighra yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan
berangka tahun 792 Saka
(http://candi.pnri.go.id/temples/deskripsi-jawa_tengah-candi_sewu).
Candi Plaosan
Candi
Plaosan terletak di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten,
kira-kira 1,5 KM ke arah timur dari Candi Sewu. Candi ini bercorak agama Buddha
yang terbagi menjadi dua, yaitu Candi Plaosan Lor dan Kidul. Pahatan yang
terdapat di Candi Plaosan terdapat kemiripan dengan Candi Sari dan Candi Sewu
dengan adanya ruangan di dalam candi.
Candi Plaosan
diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dari Kerajaan
Mataram Hindu, yaitu pada awal abad IX M. Pendapat lain mengenai pembangunan
Candi Plaosan adalah dibangun sebelum masa pemerintahan Rakai Pikatan. Menurut
Anggraeni, yang dimaksud dengan Sri Kahulunan adalah ibu Rakai Garung yang
memerintah Mataram sebelum Rakai
Pikatan (http://candi.pnri.go.id/temples/deskripsi-jawa_tengah-candi_plaosan).
Candi Borobudur
Candi Borobudur
terletak di Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi Borobudur
merupakan Candi bercorak agama Buddha dan terbesar di dunia. Lokasi Candi Borobudur
yang merupakan bukit kecil dikelilingi oleh pegunungan Menoreh, Gunung Merapi,
Merbabu Sumbing, dan Sindoro. Berdasarkan pendapat para ahli candi ini mulai
dibangun pada masa pemerintahan raja-raja Wangsa Sanjaya sekitar tahun 780 M
hingga masa pemerintahan Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra (http://candi.pnri.go.id/temples/deskripsi-jawa_tengah-candi_barabudhur). Candi Borobudur
berdiri di atas bukit yang memanjang arah timur-barat. Candi ini disusun rapi
tanpa perekat seperti yang terdapat di Candi Kalasan dan Candi Sari. Candi ini
berbentuk limas bersusun dengan tangga naik. Relief-relief di Candi Borobudur yang
menceritakan kehidupan lampau Sang Budha serta para petapa lainnya. Bangunan Candi
Borobudur terdiri dari tiga tingkatan, yaitu; Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief tersendiri, dan sampai saat ini Candi
Borobudur telah mengalami beberapa kali pemugaran.
Referensi:
Ariyakumara. 2013. Asoka: DhammaCitta Press.
Pesala. 2002. Petikan Milindha Panha. Klaten: Wisma Meditasi Dhammaguna.
Walshe, Maurice. 2009. Khotbah-khotbah
Panjang Sang Buddha Digha Nikaya. Terjemahan oleh Team Giri Mangala
Publication, dan Team DhammaCitta Press: DhammaCitta Press.
IKUTI BERITA & ARTIKEL BUDDHIS LAINNYA DI GOOGLE NEWS