Jubah (Civara) Bhikkhu Theravada
Daftar Isi
Ilustrasi: Buddhis Media |
Jubah (Civara) Bhikkhu Theravada
Buddhis Media. Kebutuhan pokok para bhikkhu, khususnya jubah sangat penting
bagi bhikkhu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Jubah merupakan syarat bagi
para bhikkhu untuk mendapatkan
penahbisan (upasampadha). Tujuan dari
mengenakan jubah hanya sebatas untuk menutupi tubuh bhikkhu dari panas, dingin dan juga agar terhindar dari berbagai
gangguan. Gangguan itu bisa berupa gigitan nyamuk, rengit, dan hewan-hewan
lainnya. Jubah para bhikkhu memiliki sejarah dari awalnya mengenai bentuk,
bahan, bahkan pola jubah. Jubah tersebut tidak mengalami perubahan dari zaman
Sang Buddha hingga sekarang khususnya pada tradisi Theravada.
Sejarah awal jubah bhikkhu dahulu hanya berupa sarung saja, tetapi karena hal itu dianggap tidak sopan maka jubah ditambah pada bagian atas kemudian menggunakan jubah luar. Jubah bhikkhu memiliki pola tersendiri, yaitu dengan menggunakan pola Sawah Magadha. Pola Sawah Magadha ini digunakan untuk mempermudah dalam menggunakan jubah dan juga dalam merawat jubah.
Saat sekarang ini banyak umat Buddha yang kurang bahkan belum mengetahui tentang jubah para bhikkhu. Kebanyakan mereka hanya sekadar tahu dan tidak memahami bagian-bagian jubah, makna dalam menggunakan jubah, dan sejarah tentang jubah hingga bisa berbentuk seperti sekarang ini. Hal itu sangat memprihatinkan bagi umat Buddha. Oleh karena itu, penulis menyusun makalah tentang peralatan jubah. Penulis berharap setelah umat Buddha membaca makalah ini, umat Buddha dapat menambah wawasan akan jubah para bhikkhu dengan baik, dan tidak hanya sekadar tahu saja.
Dengan demikian,
umat Buddha bisa memahami kesederhanaan
dari jubah bhikkhu. selain itu mengerti
akan perenungan penggunaan jubah yang bukan untuk kesenangan dan keindahan, melainkan hanya untuk menghilangkan dukkha dan melatih hidup sederhana.
Sejarah Jubah (Civara)
Zaman dahulu para petapa biasanya
memakai kulit macan loreng, macan tutul, kulit rusa untuk pakaian. Diantaranya
ada yang memakai kulit pohon, pakaian dalam dari kain putih, bahkan ada yang
telanjang seperti Petapa Jaina.
Sang Buddha melarang para bhikkhu berpakaian secara demikian dan
mentahbiskan para pengikutnya dengan memakai jubah yang dibuat dari
potongan-potongan kain yang tidak ada nilai ekonominya lagi (pamsukula). Seringkali memakai kain
pembungkus mayat.
Kemudian Sang Buddha memberikan
kelonggaran dengan mengizinkan para bhikkhu
menerima dana jubah atau kain untuk jubah. Akan tetapi, nilai ekonomi dari
kain itu harus dihilangkan dengan memotongnya menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian disambung kembali untuk dibuat
sehelai jubah. Namun, harus disadari bahwa jubah adalah untuk menutupi badan
dari hawa dingin dan panas, untuk melindungi diri dari serangan serangga, dan
angin serta untuk menutupi bagian badan yang harus ditutupi yang dapat
menimbulkan rasa malu.
Bagian-Bagian
Jubah Bhikkhu
Jubah
para bhikkhu dan bhikkhuni dalam tradisi Theravada
(disini memakai referensi dalam tradisi Dhammayutika Thailand) dianggap tetap
mempertahankan pola, dan warna asli sejak zaman kehidupan Buddha Gotama.
Terdapat 3 bagian utama jubah, yaitu: uttarasanga, antaravasaka, dan sanghati
Uttarasanga adalah bagian terpenting dan terluar
dari jubah para bhikkhu. Biasa
disebut juga jubah kashaya. Jubah ini
berbentuk persegi panjang, berwarna saffron, panjang sekitar enam hingga
sembilan kaki sehingga dapat digunakan untuk menutupi kedua bahu, tetapi sering
kali hanya digunakan untuk menutupi bahu bagian kiri sedangkan bahu bagian
kanan dan tangan kanan dibiarkan terbuka.
Digunakan
didalam Uttarasanga dan dipakai
seperti halnya memakai sarung, dililitkan di pinggang dan menutupi lutut hingga
separuh betis. Hal ini bertujuan agar tidak mengganggu kaki pada saat berjalan.
Sanghati merupakan jubah ekstra yang bisa
digunakan untuk menutupi tubuh bagian atas apabila membutuhkan kehangatan saat
cuaca dingin. Tetapi bila tidak dipakai biasanya dilipat kecil dan ditempatkan
diatas bahu bagian kiri seperti selendang.
Untuk
jubah bagi para bhikkhuni sebenarnya
sama seperti di atas, tetapi ditambah 2 bagian lain sehingga terdapat 5 bagian
dari jubah seorang bhikkhuni. Para bhikkhuni mengenakan samkacchika (atasan) yang dipakai
dibawah uttarasanga sehingga menutupi
kedua bahu bhikkhuni. Para bhikkhuni
juga dilengkapi dengan Udakasatika
(pakaian mandi).
Bahan
Jubah Bhikkhu
Untuk bahan jubah diperkenankan
mengunakan kain dari bahan seperti; linen, katun, sutra, wol, rami (seperti
bahan goni), rami (seperti bahan untuk tali tambang). Hal tersebut
diperkenankan untuk digunakan karena bukan terbuat dari bahan mewah disamping itu mengingat
bahan-bahan pada zaman dahulu masih langka maka diperkenankan dari berbagai
macam bahan. Selain langka juga kehidupan seorang bhikkhu berlatih untuk hidup sederhana.
Pada zaman sekarang seiring
perkembangan kemajuan tekhnologi diperkenakan memakai kain dari bahan nilon. Bahan nilon yang
dipergunakan pun haruslah sederhana tetap mengikuti pola yang telah ditentukan.
kain dipotong-potong dijahit membentuk pola sawah Magadha.
Cara
Bhikkhu
Memperoleh
Kain Jubah
Didalam mendapatkan jubah seorang bhikkhu tidak diperkenankan mendapatkan
secara berlebihan. Hal itu mengacu pada hal hal sebagaimana di atas melihat
nilai ekonomi dari kain tersebut. Kain yang dapat dipakai seperti; kain bungan,
ataupun menerima kain dari perumah tangga yang tidak ada nilai ekonominya.
Ada delapan cara untuk mendapatkan
kain jubah sebagai berikut; dalam wilayah tertentu, dengan kesepakatan, dengan
disertai dana makanan, diberikan kepada sangha, kepada sangha yang telah
menyelesaikan vassa, setelah
disetunjuk dan untuk perseorangan.
Apabia mengambil kain pembungkus
mayat harus memperhatiakan kondisi tubuh mayat dilihat dari suhu tubuh harus
dingin, dan membacakan parita pamsukula
gatha. Hal tersebut berawal dari kisah terdahulu pada kehidupan Sang
Buddha. Ada seorang bhikkhu bermaksud
mengambil kain pembungkus mayat tidak memperhatikan keadaan mayat. Bhikkhu terebut mengambil dalam keadaan
suhu tubuh masih hangat dan langsung mengambilnya saja. Dari hal itu karena
melekatnya makhluk yang teleh meninggal itu terlahir sebagai setan (peta) tidak terima terhadap perlakuan bhikkhu itu, maka peta terus mengganggu bhiikkhu
dan Sang Buddha memberitahukan agar membacakan Pamsukula Gatha. Pembacaan
parita itu bertujuan untuk memberika perenungan terhadap mayat tersebut agar
tidak mengganggu dengan memancarkan cinta kasih.
Melihat sejarah pola jubah dibentuk
sedemikian rupa pada awalnya jubah tidak berbentuk berpetak-petak. Sseiring
perkembangan agama Buddha pada masa kehidupan Sang Buddha. Banyak orang masuk
menjadi anggota sangha. Merekapun terdiri dari berbagai macam kasta, dan jubah
yang mereka bawapun berbeda-beda. Dari hal itu menimbulkan perbedaan pada jubah
maupun menimbulkan terjadinya tindakan yang tidak diinginkan seperti terjadinya
pencurian jubah.
Akhirnya Sang Buddha menyuruh Bhikkhu Ananda untuk membuat pola jubah. Ketika Bhikku Ananda pergi ke puncak tebing hal yang dilihat pertama
adalah Sawah Magadha. Maka Bhikkhu Ananda
menyampaikan Pola Sawah Magadha untuk pola jubah, dan Sang Buddha
menyetujuhinya. Jadilah pola Sawah Magadha.
Cara Bhikkhu Merawatan Jubah
Hal yang harus dilakukan ketika jubah
compang-campiing maka harus di tambal. Dalam hal ini ada 5 cara yang
diperkenankan untuk memperbaiki jubah dengan menambal, menjahit, melipat,
disegel, dan dikuatkan. Adapun
hal-hal yang harus disiapkan ketika akan menjahit jubah meliputi; Untuk
memotong dapat digunakan pisau atau gunting; Untuk menjahit menggunakan jarum,
mesin jahit; Untuk menjaga jahitan tetap selaras diperbolehkan memakai frame
yang disebut kathina. Perlu
diketahui bahwa asal mula dari hari raya umat Buddha yaitu hari katina berasal
dari frame yang disebut kathina. Kathina dipakai untuk membantu agar jubah yang
dijahit agar tetap selaras dan rapi.
Warna
Jubah Bhikhu
Warna yang tidak diperkenankan
adalah biru, hijau, kuning, merah, merah darah, hitam, jingga, krem. Warna
tersebut tidak diperkenankan karen merupakan warna-warna yang mencolok dan pada
mulanya warna dasar sendiri adalah warna tanah.
Warna setandar jubah adalah coklat,
meskipun akan menjadi coklat kemerahan, coklat kekuningan, dan coklat jingga.
Warna coklat ini bisa dikatakan sebagai warna tanah.
Meski
saat ini jubah para bhikkhu dan bhikkhuni memiliki beragam corak dan warna, tergantung
dari lokasi geografis dan cuaca setempat. Pada mulanya jubah para bhikkhu/ni di
India jaman kehidupan Buddha berwarna saffron (warna oranye kekuning-kuningan)
dan terbuat dari “kain murni”. Kain murni disini artinya adalah kain yang tidak
dipakai lagi oleh orang lain seperti kain yang telah dibuang, kain sobek/bolong-bolong
bekas gigitan tikus, kain beks kelahiran bayi, kain bekas pembungkus mayat
sebelum dikremasi, bisa dikatakan kain yang sudah tidak ada nilai ekonominya.
Semua
bagian yang tidak dapat dipakai kemudian dibuang, dibersihkan, dicuci dan
dikeringkan sebelum akhirnya diberi pewarna pakaian alami. Caranya jubah yang
telah dicuci direbus ke dalam kuali bersama dengan bunga-bungaan, dedaunan, dan
saffron yang memberikan warna oranye kekuningan tersebut (saffron – Crocus
sativu - sendiri adalah sejenis tanaman yang bermanfaat sebagai bumbu
dapur, pewarna alami, dan tanaman obat). Jubah berwarna saffron ini hingga kini
masih digunakan oleh para bhikkhu dan bhikkhuni aliran Theravada yang berkembang di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Saat
ini jubah para bhikkhu dan bhikkhuni sudah tentu tidak lagi
diperoleh dari kain yang dibuang, tetapi dari para umat yang mendanakan jubah,
terutama biasanya pada saat perayaan Kathina.
Bahan pewarna dapat menggunakan
akar, kayu, kulit kayu, daun, bunga, dan buah. Pada zaman dahulu semua bahan
pewarna berasal dai tumbuh-tumbuhan. Hal ini dilakukan dikarenakan masih
sederhananya tentang warna, dan merupakan bentuk dari kehidupan yang sederhana.
Pada
zaman sekarang pewarna tekstil boleh digunakan. Pewarna tekstil lebih cepat dan
lebih mudah didapatkan karena mengikuti perkembangan zaman. Pada masa kehidupan
sekarang ini bisa dikatakan pewarna alami sudah tidak lagi pergunakan lagi
mengingat kemajuan di era modern dan melihat tingkat keefisiensinya juga.
Seiring dengan
perkembangan agama Buddha, jubah bhikkhu
(civara) tidak mengalami perubahan. Pola dan bentuk civara masih sama seperti pada zaman Sang Buddha. Civara memiliki bentuk yang sederhana.
Cara pemakaiannya mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Jubah digunakan oleh bhikkhu bukan untuk kesenangan bahkan
keindahan. Akan tetapi jubah digunakan untuk menutupi tubuh agar terlindungi
dari berbagai macam gangguan dari luar. Para bhikkhu melakukan perenungan dalam pemakaian jubah untuk
menghilangkan penderitaan (dukkha)
dan melatih hidup sederhana. Dengan demikian, pengunaan civara tidak sama halnya dalam penggunaan yang dipakai pada pakaian
umat awam yang selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman.
Referensi:
Referensi:
Rashid,
Teja S.M. 1997. Sila dan Vinaya. Jakarta.
Buddhis Bodhi.
Tim
Penyusun. 2003. Materi Kuliah Agama
Buddha Untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi.
(no
name). http://www.wihara.com/forum/kesempatan-berdana/13291-persembahan-jubah-kathina.html,
(diakses pada tanggal 22 Maret 2013).
Vajirananavarosasa.
1993. The Entrance To The Vinaya.(Vinayamukha.vol.II). Bangkok: Mahamakat
Raja Vidyalaya Press.IKUTI BERITA & ARTIKEL BUDDHIS LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Posting Komentar