Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Indonesia

Daftar Isi
Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Indonesia
Ilustrasi: Buddhis Media

Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Indonesia

Buddhis Media. Perkembangan agama Buddha di Indonesia dari masa ke masa tidak bisa terlepas dari perubahan-perubahan pola pikir, peradaban, dan perilaku hidup manusia. Hal ini dapat kita lihat dari keberagaman perkembangan aliran agama Buddha di Indonesia. Namun demikian, perkembangan agama Buddha di Indonesia diawali sebelum bangsa Indonesia terbentuk yang dalam hal ini pada masa kerajaan, hingga bisa bertahan sampai detik ini. Tentu, proses perkembangan agama Buddha di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran pelaku dan tokoh yang mengembangkan dan menyiarkan agama Buddha di Indonesia serta nilai-nilai agama Buddha yang mereka kembangkan.

Sikap keberagaman umat Buddha adalah Dharma, yang mengandung pengertian kesucian pikiran, kesucian ucapan, dan kesucian tindakan jasmani. Walaupun Dharma memiliki manifestasi yang bermacam-macam, tetapi pada hakikatnya, Dharma tersebut menunjukkan kepada yang umum, mendasar, lengkap, dan mengarah kepada tujuan yang satu. Tujuan itu ialah pencerahan sempurna, sebagaimana yang dijelaskan Buddha dalam kitab suci Tipitaka bagian Paṇḍita Vagga VI Ayat 89

“Barang siapa mengembangkan batin dengan benar dalam faktor-faktor pencapaian penerangan, melepas kemelekatan, bersenang dalam pelepasan kelekatan, mereka merupakan khinasava, bersinar terang, mencapai kepadaman di dunia.”

Perkembangan Dharma ajaran Buddha masuk ke Indonesia memerlukan proses yang panjang agar Dharma dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal itu disebabkan sebelum agama Buddha masuk, bangsa Indonesia telah mengenal dan memiliki nilai-nilai luhur serta pandangan hidup yang mereka pegang serta jalankan dalam kehidupan sehari-hari.

A. Perkembangan Agama Buddha pada Masa Kerajaan

Buddhisme atau ajaran agama Buddha bisa diterima oleh masyarakat Indonesia disebabkan karena mengajarkan kedamaian, ketenangan, dan keselarasan dengan hidup dan alam serta budaya saat itu. Dari awal masuk hingga saat ini, berjalan secara damai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma masyarakat yang berlaku. Selain mendapatkan tempat yang layak, agama Buddha juga dijadikan pedoman dan landasan dalam memerintah kerajaan serta menjadi pandangan hidup masyarakat. Selain agama Buddha, agama Hindu juga berkembang. Kita sering mendapati hal-hal yang sama bahkan sinkretis antara agama Buddha dan Hindu, dalam kehidupan masyarakat, kerajaan, politik, dan agama, bahkan memunculkan doktrin atau ajaran baru dan berbeda dari aslinya.

1. Perkembangan Agama Buddha pada Masa Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Sumatra Selatan. Banyak berpengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, sampai pesisir Kalimantan. Awalnya, Sriwijaya hanya sebuah kerajaan kecil, kemudian berkembang menjadi kerajaan besar setelah dipimpin oleh Dapunta Hyang yang berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya berupa prasasti berasal dari dalam dan dari luar negeri. Prasasti dalam negeri antara lain: Prasasti Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuwo (684 M), Telaga Batu (683 M), Kota Kapur (686 M), Karang Berahi (686 M), Palas Pasemah dan Amoghapasa (1286 M). Prasasti yang berasal dari luar negeri, antara lain Ligor (775 M), Nalanda, Piagam Laiden, Tanjore (1030 M), Canton (1075 M), Grahi (1183 M), dan Chaiya (1230 M). Mengenai ibu kota Sriwijaya, para ahli mendasarkan pendapatnya pada daerah yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit, yaitu Minanga. Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 604 Saka (682 M) ditemukan di daerah Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang.

Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra Dewa. Raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala Dewa dari India. Dalam Prasasti Nalanda, disebutkan bahwa Raja Dewapala Dewa menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara bagi para pandita Sriwijaya yang belajar agama Buddha di India. Selain itu, dalam Prasasti Nalanda, juga disebutkan bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa yang menunjukkan bahwa Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya.

Perkembangan agama Buddha di Sriwijaya menarik banyak peziarah dan cendikawan dari negara-negara di Asia. Antara lain tokoh dari Tiongkok, I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671M dan 695M. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi cendikiawan Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita di atas, terdapat berita yang dibawa oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1.000 orang pandita yang belajar agama Buddha pada Sakyakirti, seorang pandita terkenal di Sriwijaya. Pengunjung yang dating ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan abad ke-10. Kerajaan Sriwijaya sendiri secara tidak langsung banyak dipengaruhi oleh budaya India. Pertama oleh budaya Hindu, kemudian diikuti pula oleh budaya Buddha. Peranan Kerajaan Sriwijaya dalam agama Buddha dibuktikan dengan membangun tempat pemujaan agama Buddha di Ligor, hailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai Kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukan sejak abad ke-7 hingga abad ke-9. Dengan demikian, Sriwijaya secara langsung turut serta mengembangkan Bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara. Kerajaan Sriwijaya Berjaya dengan mempersatukan Nusantara. Persatuan Nusantara ini dikenal sebagai Negara Kesatuan Nusantara I, dengan pusatnya di Pulau Sumatra. Namun, setelah tahun 1377 M, Kerajaan Sriwijaya runtuh dan akhirnya tidak pernah terdengar lagi sebagai suatu kerajaan yang kuat.

2. Perkembangan Agama Buddha pada Masa Kerajaan Medang atau Mataram

Keberadaan agama Buddha pada masa Kerajaan Medang atau Mataram Kuno bisa kita lihat dari peninggalan-peninggalan berupa prasasti, tulisan, dan bangunan, khususnya pada masa Dinasti Syailendra. Prasasti-prasasti yang ditemukan antara abad ke-7 sampai 8 memberikan gambaran bahwa Kerajaan Medang/Mataram Kuno terletak di daerah Bagelan dan D.I. Yogyakarta dan lebih tepatnya saat ini berada di wilayah Jawa Tengah. Dinasti/wangsa Kerajaan Medang/Mataram Kuno, yaitu Dinasti Sanjaya dan Syailendra. Pada masa Dinasti Syailendra, para raja saat itu memeluk agama Buddha dan Dinasti Sanjaya yang memeluk agama Hindu-Shiva. Pada kedua dinasti ini, Kerajaan Medang/Mataram Kuno mencapai zaman keemasan. Dengan demikian, kerajaan atau negara pada saat itu menjadi aman dan makmur serta sejahtrera. Hal ini dikarenakan kedua dinasti itu saling bekerja sama dan saling menolong dalam mendirikan bangunan-bangunan suci seperti candi dan yang lainnya.

Dinasti Syailendra banyak mendirikan candi dan bangunan suci, tetapi jumlahnya masih terbilang sedikit jika dibandingkan dengan candi yang dibangun pada masa Dinasti Sanjaya. Prasasti-prasasti yang ditemukan menggambarkan bahwa agama Buddha yang berkembang saat itu adalah Buddha Mahayana. Hal ini bisa kita lihat dengan jelas pada candi di Desa Kalasan, yang kemudian diabadikan menjadi Candi Kalasan. Pada masa itu, Candi Kalasan dipergunakan untuk pemujaan dan penghormatan kepada Dewi Tara, Bodhisatva Avalokitesvara, peresmian Rupang (arca) Bodhisatva Manjusri, dan beberapa penghormatan lainnya. Prasasti Kalurak (782 M) berkaitan dengan peresmian Rupang Manjusri pada masa itu. Dalam Prasasti Kalurak, disebutkan bahwa Manjusri selain disamakan dan anggap sebagai salah satu perwujudan dari Triratna (Buddha, Dharma, dan Sańgha), juga disamakan dan dianggap sebagai salah satu perwujudan dari Trimurti, yaitu Brahma, Vishnu, dan Mahesvara (Shiva). Peneliti dan sejarahwan menyimpulkan bahwa telah terjadi sinkretisasi (penyerasian, pencampuran) antara agama Buddha Mahayana dan agama Hindu di Jawa Tengah. Bagi para pengikut Mahayana di Kerajaan Medang/Mataram Kuno, agaknya para Bodhisatva tidak dibedakan dengan dewa dari agama Hindu.

Bangunan-bangunan suci berupa candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Medang/Mataram Kuno, menjadi bukti keberadaan agama Buddha di Jawa Tengah saat itu. Pada masa itu, masyarakat Kerajaan Medang/Mataram Kuno mencapai puncak kejayaan di berbagai hal, baik ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama Buddha, sangatlah maju, kesenian, terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi. Aplikasi dan bukti nyata kemajuan ilmu pengetahuan dan seni bisa kita lihat berupa bangunan candi yang bernuansa Hindu seperti Candi Gatotkaca, Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Puntadewa, Candi Semar, dan Candi Prambanan yang merupakan candi Hindu yang paling terkenal. Bangunan candi yang bercorak agama Buddha seperti Candi Mendut, Pawon, Ngawen, Kalasan, Palosan, dan Borobudur yang merupakan candi terkenal dan termashyur saat ini. Dengan kata lain, bahwa masyarakat Kerajaan Medang/Mataram Kuno memiliki seniman-seniman yang menghasilkan karya seni yang mengagumkan. Selain candi-candi tersebut, sebenarnya, masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja Dinasti Syailendra.

3. Perkembangan Agama Buddha pada Masa Kerajaan Majapahit

Majapahit merupakan Negara Kesatuan Nusantara kedua setelah Kerajaan Sriwijaya. Pada zaman Majapahit (1293 M–1527 M), nilai-nilai budaya dan Berlatih agama di Nusantara sudah mencapai puncak melibatkan beberapa aliran agama, seperti Shiva-Hindu, Vishnu-Hindu serta agama Buddha dengan aliran mereka, yang hidup berdampingan. Ketiga agama dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Vishnu dan Shiva dipandang sama nilai dalam pemahaman spiritual. Mereka digambarkan sebagai Harihara, yaitu patung (arca) sebagai Shiva setengah Vishnu. Bahkan, Vishnu dan Buddha dipandang sama. Oleh sebab itu, toleransi dalam bidang keagamaan sangat diutamakan sehingga pertentangan dan perselisihan antaragama tidak pernah terjadi. Terlihat ketika Raja Hayam Wuruk yang merupakan raja ketika Majapahit mencapai zaman keemasan menunjuk dua penasihat kerajaan, yaitu Dharmadhyaksa Ring Kasogatan dari agama Buddha dan Dharmadhyaksa Ring Kasaiwan dari agama Hindu.

Selain tentang dua orang penasihat yang diangkat oleh Raja Hayam Wuruk, juga ditemukan sebuah Kitab Kakawin Sutasoma tentang Arjunawijaya mahakarya Mpu Tantular dari Kerajaan Majapahit. Dalam Arjunawijaya diceritakan ketika Arjunawijaya akan memasuki candi Buddha. Dalam pandangan para pandita, para Jina (orang yang telah mencapai kemenangan) dari penjuru alam digambarkan seperti patung-patung penjelmaan Shiva, serta dalam agama Buddha juga terkenal dengan sebutan Pancadhyani Buddha, yaitu Vairocana-Sada Shiva, berposisi tengah, Aksobya Rudra berposisi timur, Ratnasambhava-Brahma berposisi selatan, Amitabha-Mahadeva berposisi barat, dan Amogasiddhi-Vishnu berposisi utara. Dengan demikian, para tokoh agama Buddha, para bhikkhu mengatakan tidak ada perbedaan antara agama Buddha dan agama Shiva. Kitab “Kunjarakarna” mempertegas bersatunya agama Buddha dan agama Shiva.

Kitab Kakawin juga menceritakan tentang sebuah kemarahan Kalarudra (tokoh agama Hindu) yang hendak membunuh Sutasoma yang diceritakan sebagai reinkarnasi Buddha. Melihat kemarahan Kalarudra, para dewata mencoba menenangkan Kalarudra dengan mengingatkan bahwa antara Buddha dan Shiva tidak jauh berbeda dalam ajarannya. Kita semua diajak merenungkan Shiva-Buddha-Tatwa, hakikat Shiva-Buddha. Dalam Kakawin Sutasoma, juga terdapat kalimat Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangrwa. Dengan kata-kata yang dimaksud, tujuan dari Bhinneka Tunggal Ika yang saat ini menjadi simbol dan lambang yang tertera dalam kaki Burung Garuda melambangkan persatuan, toleransi, dan persatuan bangsa.

Kerajaan Majapahit mengalami fase kemunduran pada masa akhir pemerintahan Maharaja Bhre Kertabumi atau Raja Brawijaya V (1468 M – 1478 M). Pada tahun 1486 M dan 1513 M, ibu kota Majapahit dipindahkan ke Kota Daha, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kemunduran dan kehancuran secara menyeluruh pada tahun 1527 M. Nilai-nilai yang baik dan patut dicermati dari ketiga kerajaan adalah tingkat toleransi di antara umat beragama begitu tinggi. Ketiga kerajaan besar tersebut merupakan kerajaan Buddha atau Hindu-Buddha. Namun, dalam perjalanannya, agama Buddha bukanlah satu-satunya agama pada saat itu. Selain ada agama Hindu, juga kepercayaan yang dianut oleh penduduk setempat, tetapi itu semua tidak menyebabkan perpecahan.

Keberadaan candi-candi Buddha dan Hindu yang berdampingan merupakan bukti nyata betapa tingginya tingkat toleransi dan kerukunan antarumat beragama pada masa lalu. Hal ini pertanda bahwa para pemeluk agama-agama itu dapat hidup damai. Hal ini bisa kita lihat dari catatan-catatan sejarah yang menyatakan pernah terjadi peperangan di dalam kerajaan-kerajaan tersebut disebabkan oleh perbedaan agama dan kepercayaan masyarakat setempat.

Umat Buddha pada masa lalu giat mempelajari agama dan menyebarkannya melalui penerjemahan kitab suci, penulisan karya sastra keagamaan, pembangunan candi, pembuatan arca, dan pengembangan perguruan tinggi Buddhis. Semangat mereka dalam mengajarkan dan mempelajari agama Buddha dapat kita contoh saat ini. Kita harus bangga agama Buddha merupakan agama yang telah ada sejak zaman dulu dan sudah mengakar kuat di Indonesia.

B. Perkembangan Agama Buddha pada Masa Sebelum Kemerdekaan

Segala sesuatu akan memudar dan lenyap atau mengalami ketidakkekalan (anicca), demikian juga dengan ajaran Buddha di Nusantara. Setelah mencapai kejayaan serta peradabaan pengetahuan yang tinggi pada masa Kerajaan Sriwijaya, Mataram, dan Majapahit, proses anicca pun memberikan dampak pada perkembangan ajaran agama Buddha di Nusantara. 

Setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan, agama Buddha mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan tidak adanya suatu tatanan sistem pemerintah seperti dulu yang mampu mengayomi atau melindungi agama Buddha sebagai agama yang dianut oleh masyarakat dalam melakukan ritualitas. Agama Buddha di Nusantara, walaupun mengalami kemunduran, tetapi masih ada orang-orang yang memiliki pemikiran murni tentang nilai-nilai agama serta memegang teguh keyakinan agama Buddha dalam kehidupan dan pemikirannya. Mereka menyingkir, menjauh, dan mengasingkan diri ke daerah-daerah terpencil dan pedalaman di bumi Nusantara, menciptakan komunitas tersendiri di dalam masyarakat saat ini.

Mereka masih memegang teguh ajaran agama lama secara turun-temurun. Namun, ajaran agama Buddha sudah mengalami suatu perubahan. Hal ini disebabkan mereka hampir rata-rata sudah lupa bagian-bagian dari ajaran Buddha keseluruhan. Hal ini juga disebabkan cara belajar mereka tentang ajaran agama Buddha masih tradisional, sebagian tidak menggunakan tulisan, tetapi dengan cara menghafal atau lisan serta dengan memberikan contoh perilaku dan perbuatan yang cukup dilakukan melalui batin.

Penyebaran komunitas-komunitas baru dari masyarakat Buddha dan Hindu dapat kita ketahui di beberapa wilayah di Indonesia saat ini, seperti di Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain itu, ajaran-ajaran yang masih bisa kita lihat dan pelajari setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit adalah praktik dari latihan lima kemoralan Pancasila Buddhis, seperti berlatih untuk tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak berbohong, dan tidak mabuk-mabukan. Hal ini bisa disamakan dengan ajaran Jawa tentang Mo Limo atau lima pantangan, yaitu tidak boleh mateni (membunuh), maling (mencuri), madon (bermain perempuan), madat (mabuk-mabukan), main (berjudi). Lima hal ini merupakan persamaan dari penerapan lima latihan moral dalam Pancasila Buddhis. Dengan demikian, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan yang berideologi agama Buddha di Nusantara, Buddhisme atau ajaran agama Buddha tidak benar-benar lenyap, tetapi hanya tertidur dan akan bangun lagi setelah 500 tahun kemudian terhitung dari wafatnya raja Kerajaan Majapahit yang bernama Brawijaya V pada tahun 1478 M.

Kerajaan Majapahit yang mengalami keruntuhan pada tahun 1478 M juga membawa dampak runtuhnya pilar-pilar kejayaan agama Buddha di Nusantara (Indonesia). Rakyat yang tetap setia memeluk agama Shiva-Buddha mengungsi dan berkumpul di berbagai tempat di Jawa Timur dan Pulau Bali.

Pada akhir masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, bangsa Eropa mulai menjejakkan kakinya ke bumi pertiwi dan Nusantara memasuki zaman kolonial (penjajahan). Bangsa Belanda mulai menjajah Indonesia setelah didahului oleh bangsa Portugis. Pada masa Belanda menjajah beberapa daerah di Indonesia, hanya dikenal tiga agama, yaitu agama Kristen Protestan, Katolik, dan Islam. Agama Buddha tidak disebut-sebut meskipun Candi Borobudur telah kembali ditemukan pada tahun 1814 oleh Sir homas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa. Dengan demikian, agama Buddha dianggap sudah sirna di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di dalam sanubari bangsa Indonesia, agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.

Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, didirikan perhimpunan teosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuannya adalah untuk mempelajari inti kebijaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. Teosofi juga mempelajari tentang kebijaksanaan dari agama Buddha. Agama Buddha mulai dikenal, dipelajari, dan dihayati dari ceramah-ceramah dan meditasi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.

Pada zaman penjajahan Belanda, di Jakarta timbul pula usaha-usaha untuk melestarikan ajaran agama Buddha, Konghucu, dan Laotse yang kemudian melahirkan organisasi Sam Kauw Hwee yang bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran tersebut. Dari sini pula, kemudian lahir penganut agama Buddha yang dalam zaman kemerdekaan bangkit dan berkembang. Pada tahun 1932, di Jakarta, telah berdiri International Buddhist Mission Bagian Jawa dan Yosias Van Dienst menjabat sebagai Deputy Director General. Pada tahun 1934, telah diangkat A van Der Velde di Bogor dan J.W. De Wilt di Jakarta masing-masing sebagai Asisten Direktur yang membantu Yosias Van Dienst. Setahun sebelum berdirinya International Buddhist Mission Bagian Jawa, tepatnya tahun 1931, di Jakarta terbit majalah Mustika Dharma yang dipimpin oleh Kwee Tek Hoay.

Majalah Mustika Dharma memuat tentang pelajaran teosofi, yaitu ajaran yang mempelajari Islam, Kristen, ajaran Krisnamurti, Buddha, Konghucu, dan Lautse. Majalah Mustika Dharma
berjasa dalam menyebarluaskan Kembali agama Buddha sehingga agama Buddha mulai dikenal, dimengerti, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan. Atas prakarsa dari Kwee Tek Hoay, kemudian lahir organisasi Sam Kauw, organisasi yang memelopori kebangkitan agama Buddha di Indonesia di samping Perhimpunan Teosofi Indonesia dan Pemudae Tsofi Indonesia.

Pada tanggal 4 Maret 1934, Bhikkhu Narada menginjakkan kakinya di Pelabuhan Tanjung Priok, disambut oleh Yosias Van Dienst dan Tjoa Hin Hoay serta beberapa umat Buddha. Bhikkhu Narada adalah bhikkhu yang pertama datang dari luar negeri setelah berselang lima ratus tahun. Bhikkhu Narada hera memberikan ceramah agama Buddha di Logi-logi Teosofi dan di kelenteng-kelenteng di Bogor, Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Bandung.

Organisasi Buddhis lain pada zaman penjajahan yang berperan dalam kebangkitan agama Buddha di Indonesia adalah Java Buddhist Association. Organisasi ini menerbitkan majalah Namo Buddhaya dalam bahasa Belanda, dan banyak menarik perhatian dan minat orang-orang Cina, yang pada waktu itu telah banyak menganut agama lain, dan mengganti tradisi serta adat istiadat leluhurnya dengan kebiasaan Barat. Kemudian, pada tahun 1932, Kwee Tek Hoay membantu Sam Kauw Hwe yang anggotanya terdiri atas penganut agama Buddha, Konghucu, dan Laotse. Sam Kaw Hwee menerbitkan majalah Sam Kauw Gwat Po dalam bahasa Indonesia.

C. Perkembangan Agama Buddha pada Masa Setelah Kemerdekaan

Dalam perjalanan pembabaran Dharma dan perkembangan agama Buddha di Indonesia, Perhimpunan Teosofi Indonesia maupun Perhimpunan Pemuda Teosofi Indonesia secara tidak langsung mempunyai andil yang besar dalam kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia setelah kemerdekaan. Dengan adanya Perhimpunan Teosofi Indonesia dan gabungan Tri Dharma Indonesia serta Perhimpunan Pemuda Teosofi Indonesia, lahir penganutpenganut agama Buddha yang kemudian bersama-sama dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memelopori kebangkitan kembali agama Buddha tahun 1956.

Nama-nama yang mendampingi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dalam memelopori kebangkitan kembali agama Buddha dalam era 2.500 tahun Buddha Jayanti tahun 1956 antara lain M.S. Mangunkawatja, Sariputra Sadono, Sasanasobhana, Sosro Utomo, I Ketut Tangkas, Ananda Suyono, R.A. Parwati, SatyaDharma, lbu Jayadevi Djamhir, Pannasiri Go Eng Djan, Ida Bagus Giri, Drs. Khoe Soe Khiam, Ny. Tjoa Hin Hoey, Harsa Swabodhi, Krishnaputra, Oka Diputhera, dan sebagainya. Organisasi Buddhis yang mempersiapkan kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia adalah International Buddhis Mission Bagian Jawa di bawah pimpinan Yosias Van Dienst, yang banyak mendapat bantuan dari perhimpunan teosofi dan gabungan Sam Kauw.

Organisasi Buddhis yang memelopori kebangkitan dan perkembangan agama Buddha di Indonesia sejak tahun 1950-an ialah Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang diketuai oleh Sariputra Sadono, kemudian oleh Karbono, Soemantri MS, Oka Diputhera (Sekjen) sampai kemudian bergantibnama menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) yangbkemudian menjadi Majelis Upasaka Pandita Agama Buddhayana Indonesia. Yang membentuk PUUI adalah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dalam tahunb1954, sebagai pembantunya dalam menyebarkan agama Buddha di Indonesia. Kemudian, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita merestui berdirinya Perhimpunan Buddhis Indonesia pada tahun 1958 dengan ketua umum Sariputra Sodono dan Sekjen ialah Sasana Sobhana. Ketua umum PERBUDHI adalah Soemantri MS dengan Sekjen ialah Oka Diputera. Namun seiring berjalannya waktu, PERBUDHI kemudian berubah nama menjadi BUDHI. Selain PERBUDHI, pada tahun 1958, juga berdiri Sańgha Suci Indonesia yang kemudian juga berganti nama menjadi Maha Sańgha Indonesia. Maha Sańgha Indonesia kemudian pecah, melahirkan Sańgha Indonesia. Dengan demikian, di Indonesia, terdapat dua Sańgha, yakni Maha Sańgha Indonesia dan Sańgha Indonesia. Maha Sańgha Indonesia dipimpin oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan Sańgha Indonesia dipimpin oleh Bhikkhu Girirakkhito. Tahun 1974, atas prakarsa Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, Gde Pudja MA, telah diadakan pertemuan antara Maha Sańgha Indonesia dan Sańgha Indonesia. Hasil dan pertemuan tersebut melahirkan Sańgha Agung Indonesia, yakni gabungan dari Maha Sańgha Indonesia dan Sańgha Indonesia. Sebagai Maha Nayaka Sańgha Agung Indonesia terpilih Sthavira Ashin Jinarakkhita.

Pada tanggal 23 Oktober 1976, Vihara Maha Dharmaloka (sekarang Vihara Tanah Putih) menjadi tempat yang digunakan oleh beberapa bhikkhu, yaitu Bhikkhu Aggabalo, Bhikkhu Khemasarano, Bhikkhu Suddhammo, Bhikkhu Khemiyo, dan Bhikkhu Nyanavutho serta para tokoh umat seperti Bapak Drs. Suriyaputa K. S. Suratin, Bapak Drs. S. Mohtar Rashid, dan Ibu R.S. Prawirokoesoemo untuk berkumpul dan membicarakan hal yang penting mengenai agama Buddha. Terbentuklah Sańgha yang dinamakan Sańgha Theravada Indonesia oleh kelima orang bhikkhu tersebut, yaitu: Bhikkhu Anggabalo, Bhikkhu Khemasarano, Bhikkhu Suddhammo, Bhikkhu Khemiyo, dan Bhikkhu Nyanavutho.

Sańgha Mahayana Indonesia (SMI) didirikan pada tanggal 12 Agustus 1978 di Vihara Buddha Murni, Medan, Sumatra Utara oleh 12 orang bhiksu dan bhiksuni. Latar belakang pendirian SMI adalah untuk menyatukan para bhiksu dan bhiksuni Mahayana dalam satu wadah kesatuan, serta melestarikan dan menyebarkan Buddha Dharma di Nusantara. Perjalanan dan perkembangan agama Buddha saat ini begitu maju, termasuk organisasi-organisasi majelis dan Sańgha yang ada. Hal ini mengisyaratkan bahwa ajaran agama Buddha mampu diterima oleh umat Buddha Indonesia dari latar belakang berbagai tradisi dan kearifan yang ada. Tahun 2020, terdapat 39 organisasi yang menaungi umat Buddha dari berbagai aliran atau sekte dan majelis.

Agama Buddha memiliki fungsi dan peran besar bagi kehidupan umat Buddha khususnya dan bagi masyarakat luas pada umumnya untuk mengajarkan, melatih, dan membantu proses pembelajaran, menyelamatkan, juga mengubah sikap umat agar menjadi lebih baik. Fungsi dan peran ini dapat dilihat dari beberapa pokok ajaran Buddha tentang Hukum Kebenaran. Melalui hukum ini, umat Buddha dapat menyadari kondisi-kondisi dan hakikat kehidupan sehingga mengubah sikap agar terbebas dari penderitaan dengan menjalankan Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Ajaran agama Buddha tidak hanya mengajarkan prinsip-prinsip dan konsep untuk membebaskan diri dari penderitaan dan merealisasi Nibbāna. Agama Buddha juga mengajarkan kebajikan-kebajikan atau perbuatanperbuatan baik yang tertuang dalam kitab suci serta sifat-sifat luhur yang perlu dikembangkan untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.

Sumber:
Kuntari, dan Kuswanto. 2021. Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

IKUTI BERITA & ARTIKEL BUDDHIS LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Detik Dhamma
Detik Dhamma Berbagi dalam Dhamma

Posting Komentar