Menjadi Guru Pendidikan Agama Buddha Bukan Sekadar Pengajar

Daftar Isi
[www.buddhismedia.blogspot.com] Menjadi Guru Pendidikan Agama Buddha Bukan Sekadar Pengajar
Ilustrasi: Buddhis Media

Menjadi Guru Pendidikan Agama Buddha Bukan Sekadar Pengajar

Buddhis Media. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting bagi pengembangan berbagai aspek kehidupan dan ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan pendidikan agama Buddha pada masa modern ini, kemajuan pendidikan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan agama Buddha. Berjalannya suatu proses kegiatan belajar tentinya tidak terlepas dari sosok seorang guru agar kegiatan belajar dalam kelas dapat berjalan dengan lancar.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional,  pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana  belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif  mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual  keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta  ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Sedangkan Buddhis merupakan ajaran yang dikembangkan oleh Sidharta Gautama yang antara lain mengajarkan bahwa kesengsaraan adalah bagian kehidupan yangg tidak terpisahkan dan orang dapat membebaskan diri dari kesengsaraan dengan menyucikan mental dan moral diri pribadi (http://www.artikata.com/arti-322529-buddhisme.html). Jadi pendidikan Buddhis dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara mendidik yang berlandaskan pemahaman terhadap ajaran Buddha serta dalam pengajaran berlandaskan nilai-nilai luhur Buddha Dhamma.

Dengan tidak mengesampingkan tujuan pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang, seorang guru hendaknya memegang pedoman yang dapat dijadikan sebagai rambu-rambu dalam mengajarkan materi kepada peserta didik. Sebagai mana yang terdapat dalam khotbah Sang Buddha dalam Digha NIkaya, LOhicca Sutta disebutkan bagaimana guru yang layak dicela dan guru yang tidak patut dicela.

Ada 3 jenis guru yang layak dicela, yaitu:

  1. Guru yang mengajarkan suatu ajaran namun muridnya mencela dan mencemooh karena belum mencapai. Bagaikan seorang laki-laki yang terus menerus mendekati seorang perempuan yang menolaknya dan merangkulnya walaupun ia telah berpaling.
  2. Guru belum mencapai, namun murid-muridnya mendengarkan dan memperhatikan nasihat-nasihatnya dan berusaha untuk mencapai kesucian. Bagaikan meninggalkan ladangnya ladangnya sendiri, ia memikirkan lading orang lain yang perlu dikerjakan.
  3. Guru telah mencapai, namun murid-muridnya tidak menghiraukan ketika ia mengajar. Bagaikan setelah memotong satu belenggu lama, seseorang membuat belenggu baru.

Ada 3 guru yang tidak patut dicela, yaitu:

  1. Seorang Sammasambuddha yang dapat menuntun muridnya memiliki sifat-sifat seperti Beliau.
  2. Guru yang dapat menuntun muridnya hingga mencapai jhana-jhana.
  3. Guru yang dapat menuntun muridnya hingga mencapai tingkat kesucian.
Seorang pendidik memegang peranan yang sangat penting dimana proses belajar dapat berlangsung sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan. Dengan melihat uraian di atas hendaknya seorang guru dapat dijadikan panutan dalam mendidik siswanya. Di dalam mendidik itu sendiri, seorang guru memiliki tanggung jawab yang sangat besar, tidak hanya sebatas di lingkungan kelas akan tetapi di lingkungan masyarakat pun hendaknya dapat memeberikan teladan yang baik kepada masyarakat. Dalam pendidikan Agama Buddha hendaknya menjadikan khotbah-khotbah Sang Buddha sebagai inspirasi dalam memberikan pelajaran di lingkungan sekolah. Seperti halnya yang ada di dalam Digha Nikaya, Lohicca Sutta seorang guru haruslah memberikan teladan yang baik.

Referensi:
Digha Nikaya: The long Discourses of The Buddha A Trsanslation. 2009. Terjemahan oleh Team Giri Mangala Publication dan Team DhammaCitta Press: DhammaCitta Press.
UU No. 20 Tahun 2003

IKUTI BERITA & ARTIKEL BUDDHIS LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Posting Komentar